Sabtu, 23 November 2013

Lelaki Andalus dan Gajah

Nama lelaki itu mudah dikenal, Yahya ibnu Yahya. Nun jauh dari Andalusia ia berasal. Ia pergi menuntut ilmu ke Madinah. Berguru pada Imam Malik. Andalusia-Madinah adalah jarak yang teramat jauh. Terlebih dengan sarana kenderaan apa adanya di masa itu. Tidak ada bekal berarti yang ia bawa kecuali tekad. Tak ada mandat yang memberangkatkannya kecuali kehendak; Yahya serius hendak berguru pada Imam Malik yang tersohor keluasan ilmunya. Yahya bin Yahya adalah salah satu contoh terbaik tentang bagaimana kehendak seorang muslim untuk tidak pernah berhenti menjadi berarti.
Hari-hari menimba ilmu pun ia lalui di Madinah yang tenang. Di hadapan sang guru Imam Malik. Hingga suatu hari, saat tengah berada di majlis bersama murid-murid yang lain, tiba-tiba ada rombongan kafilah entah dari mana. Mereka datang sambil membawa gajah. Para murid-murid Imam Malik berhamburan keluar ingin melihat gajah. Di jazirah Arab saat itu, makhluk besar berbelalai itu memang tergolong asing. Maka orang-orang pun keluar ingin melihat lebih dekat. Begitu pun murid-murid Imam Malik. Semua beranjak, kecuali Yahya bin Yahya. Hingga semua keluar Yahya tetap duduk di majlis itu. Melihat itu Imam Malik mendekat. “Mengapa engkau tidak keluar juga untuk melihat gajah?” tanya Imam Malik. Yahya menjawab, “Aku jauh-jauh datang dari Andalusia untuk menuntut ilmu, bukan untuk melihat gajah.” Imam Malik sangat kagum dengan keteguhan Yahya. Setelah itu Imam Malik pun menggelarinya dengan ‘aqilu Andalus (lelaki berakal dari Andalusia).
Lelaki berakal, Yahya bin Yahya telah meletakkan prinsip mendasar di atas jalan hidupnya. Ia mengerti sedang di jalan apa berlalu dan ke arah mana menuju. Ia seperti tengah menegaskan, betapa ia tidak boleh berhenti, di jalur kehendak dan cita-citanya, oleh sesuatu yang sederhana. Sekiranya ia sejenak keluar, melihat gajah bersama teman-temannya, itu pun tak jadi soal besar. Malah Imam Malik sejenak tidak melanjutkan pelajarannya, sebab semua murid-muridnya keluar. Tetapi falsafah luhur di balik sikapnya itu, mencerminkan sebuah kecerdasan, tentang bagaimana seorang muslim memahami godaan-godaan konsistensi, yang kadang menghentikan dan menghempaskan. Betapa ia tidak boleh terhenti oleh godaan-godaan itu. Maka lelaki itu benar-benar layak disebut ‘aqilu Andalus.
Betapa sering perjalanan hidup kita terhenti. Bahkan oleh hal-hal yang tidak terlalu serius. Betapa banyak orang berhenti dari mengejar cita-cita, kehendak mulia, mimpi-mimpi agung dalam capaian prestasi, hanya lantaran kealpaan, hanya kerana ulah menyimpang yang mulanya hanya main-main belaka, atau mentaliti ‘nanti dulu’, atau sikap ’sebentar dulu’. Akhirnya lama kelamaan jiwanya mulai layu, semangatnya mulai redup. Ghairah berkaryanya semakin kering. Akhirnya ia pun terhenti dari segala harapan yang telah menanti di hujung kerja kerasnya.
Gelar ‘aqilu Andalus, lelaki berakal dari Andalus menegaskan soal lain, bahwa kehendak kuat untuk tidak berhenti, atau terhenti, memerlukan kalkulasi keyakinan yang kuat. Ini tidak sekadar ukuran rasional untung atau rugi. Ini juga benar-benar bukan soal selera suka atau tidak suka melihat gajah. Tapi ini sungguh-sungguh benar soal pemahaman kemengertian, kesadaran dan juga kedalaman penghayatan tentang keputusan apa yang harus diambil seorang muslim di saat-saat ia tergoda.
Begitulah seorang muslim semestinya menata jalan cita-citanya. Semua orang punya harapan-harapannya. Tinggi atau rendah. Jauh atau dekat. Serius atau main-main. Tetapi menjadi seorang muslim yang tak mengenal kata henti dalam berjalan, berusaha, berkarya, adalah pilihan keimanan untuk tujuan nun jauh di akhirat sana. Sebab di atas arah jalan itu hidup seorang muslim menjadi punya arti.
Dalam kehidupan para salafussalih, keberartian tidak diperoleh dalam waktu yang singkat. Tidak pula dengan usaha yang setengah-setengah. Orang-orang besar di dalam tarikh umat Islam yang gemilang, menjadi besar kerana mereka tidak pernah lelah menabung untuk pelaburan keberartiannya, hari demi hari, waktu demi waktu, detik demi detik. Imam Bukhari setiap malam mampu terbangun hingga dua puluh kali, untuk menuliskan hadits-hadits yang dihafalnya. Ia tidak pernah berhenti untuk menjadi berarti. Maka kini ia memetik jerih payah itu. Ia menjadi maha guru ahli hadits sepanjang masa.
Begitupun orang-orang lain seperti Imam Nawawi. Bila seluruh usianya dibagi dengan karya tulisnya, maka setiap hari ia akan menulis tidak kurang dari enam belas halaman manuskrip. Bila diurai menjadi buku-buku masa kini setiap halaman manuskrip itu menjadi berlembar-lembar halaman. Begitu juga Ibnu Hajar Al-Asqalani, ulama’ besar penghurai Sahih Bukhari, ia menghabiskan seperempat abad usianya untuk menulis karya monumentalnya, Fathul Bari.
Begitulah orang-orang besar menjadi besar kerana ia tidak pernah berhenti mendermakan untuk dirinya karya kebajikan. Sebagaimana orang-orang jahat, orang-orang kejam, akan terkenang sepanjang masa, kerana ia juga melaburkan untuk dirinya kekejian dan kekejaman.
Jangan pernah berhenti, sebelum hidup kita punya arti. Sepanjang perjalanan, sejak kita beranjak dewasa, sejujurnya kita telah mengerti apa itu tujuan akhir, cita-cita puncak, dan mimpi-mimpi terjauh kita untuk menjadi sesuatu. Tetapi tidak jarang kita terhempas, kita terlena, dan kemudian berhenti di tengah jalan. Padahal hidup bagi seorang mukmin, semestinya adalah proses menjadi baik tanpa kenal putus.
Di dalam Al-Qur’an, sebuah siklus menjadi baik dijelaskan dengan indah oleh Allah dengan pendekatan usia. Bahwa pada mulanya manusia hanyalah seorang bayi. Lalu tumbuh dewasa, lalu bila Allah memberi umur panjang, ia melewati umur empat puluh tahun. Tetapi semua tahapan usia itu harus menjadi sebuah putaran kesalihan.
Allah SWT berfirman,
“Dan Kami wajibkan manusia berbuat baik kepada kedua ibu bapanya; ibunya telah mengandungnya dengan menanggung susah payah dan telah melahirkannya dengan menanggung susah payah. Sedang tempoh mengandungnya beserta dengan tempoh menceraikan susunya ialah dalam masa tiga puluh bulan. Setelah ia besar sampai ke peringkat dewasa yang sempurna kekuatannya dan sampai ke peringkat umur empat puluh tahun, berdoalah ia dengan berkata: “Wahai Tuhanku, ilhamkanlah daku supaya tetap bersyukur akan nikmatmu yang engkau kurniakan kepadaku dan kepada ibu bapaku, dan supaya aku tetap mengerjakan amal soleh yang Engkau redai; dan jadikanlah sifat-sifat kebaikan meresap masuk ke dalam jiwa zuriat keturunanku. Sesungguhnya aku bertaubat kepadamu, dan sesungguhnya aku dari orang-orang Islam (yang tunduk patuh kepadamu)”. (Al-Quran, Al-Ahqaf: 15)
Ayat di atas dengan jelas mengisyaratkan tentang siklus kehendak menjadi baik yang tak pernah berhenti, tidak pernah putus. Waktu kecil dibawah asuhan kebaikan orang tua. Begitu beranjak dewasa, ia menyambungnya dengan berbakti. Lalu disebutnya umur empat puluh tahun, menandakan kematangan yang berkelanjutan. Saat itu ia teringat lagi kebajikan kedua orang tuanya. Maka ketika ia memohon untuk mampu bersyukur, atas karunia untuk dirinya dan orang tuanya.
Selain itu, tentu saja, di dalamnya bersyukur atas kebajikan yang sanggup ia lakukan. Itu artinya ia tidak memutus jalan hidupnya untuk selalu dalam rantai kebajikan. Begitupun, ketika ia memohon hal yang sama untuk anak-anak dan cucunya. Begitu dahsyat alur putaran kesalihan itu berjalan. Nyaris tak ada yang terputus. Dari seorang bayi, hingga kelak anak cucu bagi bayi tersebut. Begitu seterusnya.
Cita-cita luhur, kehendak kuat, mimpi-mimpi untuk menjadi seorang muslim yang punya arti, tidak boleh terhenti oleh apapun. Apalagi hanya sekadar kerana seekor ‘gajah’. Hiburan dan rehat ada tempatnya sendiri yang memadai. Kita harus terus mengejar. Jangan berhenti. Jadilah seperti lelaki berakal dari Andalusia itu.
Yahya ingin menegaskan, kita tidak boleh berhenti. Kita hanya boleh dihentikan sementara, untuk mengambil nafas dan mengencangkan tali sepatu, lalu beranjak kembali sampai titik yang Allah rahsiakan waktunya.
Dari ‘aqilu Andalusia’, kita belajar untuk teguh mengurus diri sendiri dan ummat. Kita belajar untuk terus belajar. Kita belajar untuk serius bekerja. Kita belajar untuk bersungguh-sungguh dalam ibadah. Kita belajar untuk benar-benar berbenah. Belajar bersikap benar ketika melihat perhentian yang melenakan.
Janganlah pengalihan isu membuat pengambil kebijakan berpaling. Janganlah kejenuhan membuat relawan bencana pasrah. Janganlah kebuntuan membuat pejuang risalah lengah. Tidaklah keputusasaan akan membuat korban musibah menyerah. Perhentian-perhentian ini sebenarnya dapat dimaklumi. Tetapi kita, ‘jiwa-jiwa Yahya’, tidak demikian. Biarlah perhentian itu dinikmati oleh orang lain, kita cukup memelankan langkah, sejenak menyeka keringat, lalu kembali menderap penuh semangat.
Sekarang, yang kita perlukan adalah apa yang pernah Yahya lakukan berabad-abad silam itu. Cubalah kita meminjam hati dan fikiran Yahya. Lalu kita sematkan dalam kepala dan dada. Agar kita lalui hari-hari ini dengan tindakan seorang pahlawan; melangkahi tanda koma demi koma, sampai bertemu titik takdir di akhir rangkaian nafas ini.
Wallahu’alam

Sumber: Mutiara Hati

Tiada ulasan:

Catat Ulasan